|
H. M. Rizal Akbar, S.Si, M.Phil
Ketua Panitia Pelaksana PIOS IV Dumai | | |
|
|
|
Kawasan Pantai Timur
Sumatera yang berada disepanjang selat
Melaka merupakan kawasan dengan segudang peristiwa dan sejarah yang mengilhami
nusantara. Selat Malaka, yang merupakan kawasan
perdagangan tersibuk dan tertua di dunia. Daerah ini pada mulanya dihuni oleh
para pendatang dari India Selatan dan kemudian menjadi pusat pelayaran wilayah
laut kepulauan Indonesia, Laut Cina dan Samudera India. Pelayaran yang membawa
serta masyarakat Melayu tersebut dapat dijumpai di beberapa daerah bahagian
barat dan tengah kepulauan Indonesia dan daratan Malaysia. Budaya Melayu ini juga dapat ditemukan di selatan
Filipina dan Madagaskar. Bahasa Melayu menjadi bahasa nasional Malaysia dan
Indonesia serta merupakan bahasa rasmi yang digunakan di Singapura. Masyarakat
etnik Melayu dalam jumlah yang besar menetap di Riau, Jambi, Sumatera Selatan,
Bengkulu dan daerah pesisir Sumatera Utara dan sejumlah kecil masyarakat Melayu
dapat dijumpai di bahagian barat dan tengah Indonesia, khasnya di beberapa kota
pesisir.
Awal mula kerajaan Melayu berbasis di Jambi
dimulai pada abad ke-7, sementara itu kerajaan daratan Melayu berdiri pada abad
ke-1. Kerajaan yang berbasis di Jambi kemudian ditaklukkan pada abad ke-13 oleh
prajurit dari Jawa. Tahun 1402, Kerajaan Malaka (termasuk sebagian besar
Malaysia) didirikan oleh beberapa orang penguasa perang dari Palembang. Sejak
masa itu, terjadi persaingan sengit untuk menguasai daerah Selat Malaka.
Beberapa aliansi politik mengalami masa kejayaan dan kemunduran, antara
pemegang kekuasaan di persekitaran selat tersebut iaitu Johor, Palembang, Jambi
dan terakhir Kesultanan Aceh.
Persaingan sengit untuk menguasai wilayah ini
terjadi pada abad 15. Kesultanan Malaka-Johor-Riau berulang kali mendapatkan
dan kehilangan kekuasaannya di wilayah ini ketika Malaka berkembang menjadi
satu pelabuhan perdagangan yang ramai dan sibuk. Kesultanan memiliki kekuasaan
terhadap kedua sisi Selat Malaka sampai ke Kampar, Indragiri dan Riau
Kepulauan. Perpaduan akses ke daerah sekitarnya dan kendali terhadap
pelabuhan-pelabuhan di selat ini dapat memberikan penjelasan dan pemahaman inti
daripada Kesultanan Melayu tersebut. Beberapa sungai di Jambi dan Riau memberi
akses ke dataran tinggi pertanian Minangkabau, dan hasil emasnya, serta hasil
hutan yang dikumpulkan di sepanjang sungai. Sungai-sungai tersebut juga menjadi
sarana lalu lintas masyarakat pergi- pulang dari dan menuju selat. Sementara
itu, Aceh memperoleh peningkatan kekuasaan di pesisir barat Sumatera.
Namun demikian, beberapa pelabuhan di Selat
Malaka terbukti memiliki nilai ekonomi yang lebih penting berbanding dengan
sungai, dan kebijakan Selat Malaka yang kemudian menjadi kebijakan dunia. Tahun
1511, Portugis merebut kekuasaan Malaka. Akhir abad 16, kapal-kapal Belanda
mulai mengunjungi Sumatera tetapi belum menduduki pulau ini kerana mereka telah
terlebih dahulu menguasai Batavia dan Indonesia bagian Timur. Tahun 1611, para
pedagang Inggris mendirikan pusat perdagangan mereka yang pertama di Aceh dan
Jambi.
Selain pesatnya perdagangan antar pulau, kawasan ini juga memiliki
sejarah tentang penyebaran agama yang tidak kalah pentingnya. Pada abat ke 5
masehi pengaruh Hindu dan Buda sangat mewarnai kawasan ini, namun pada
abat-abat berikutnya kawasan ini mengambil peran penting dalam proses penyebaran
agama Islam di dinusantara, yang tentunya mencatat begitu banyak rentetan ulama
yang pernah berkiprah dikawasan ini. Selari dengan itu, perkembangan bahasa
Melayu juga memiliki hubungan yang erat dengan proses islamisasi di kawasan
ini. Pada akhir abad ke 13 masehi– sejak Islam disebarkan di kawasan ini,
sehingga secara berangsur-angsur bahasa Melayu berperan juga sebagai salah satu
wahana pengantar agama Islam.
Kawasan selat Melaka hingga saat ini masih
sangat strategis, apatah lagi bila dikaitkan dengan isu globalisasi. SIJORI (Singapura-Johor-Riau), yang kemudian
berubah namanya menjadi
IMS-GT
(Indonesia-Malaysia-Singapore
Growth Triangle) adalah model kerjasama ekonomi awal
yang diperkenalkan dibawah kawalan ASEAN dengan basis wilayah selat
Melaka. Meski banyak menemui
kendala, terutama karena antara Indonesia
dan Malaysia tidak bisa
tercapai suatu
prinsip
saling komplementer karena produk
dan
komoditi yang dihasilkan sama. Sehingga hubungan saling komplementer
hanya dapat terjadi dengan Singapura.
Model kerja sama ini kemudian
dijadikan acuan untuk
dikembangkan dibagian wilayah negara lainnya, antara lain IMT-GT (Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle) yang juga berbasis di kawasan selat
Melaka dan BIMP-EAGA (Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philipine East ASEAN Growth Area). Di samping itu, ASEAN
pun
mengembangkan
free trade-nya dengan model sendiri, yaitu melalui CEPT (Common Effective Preferential Tariff) atau melalui sejumlah daftar barang-barang yang
diperdagangkan di negara-negara
ASEAN yang sudah memberlakukan AFTA
dan
mengenakan tarif yang
berkisar
antara 0-15%, dan akan dibebaskan bila AFTA telah
berlaku efektif
(Anwar, 1994).
Bagi Indonesia dan Malaysia, kewujudan SIJORI (Singapura-Johor-Riau), mahupun IMS-GT
(Indonesia-Malaysia-Singapore
Growth Triangle) dan AFTA, adalah formalitas atas gejala
hubungan masyarakat yang sudah berlansung lama. Karena, kedua masyarakat
negara ini memiliki banyak kesamaan
dalam berbagai hal. Diantara kedua negara ini telah terjalin hubungan mesra
jauh sebelum ASEAN di didirikan. Kewujudan ASEAN bagi kedua kawasan ini hanya
memperkokoh hubungan keduanya secara formal. Namun dari sisi pergerakan
masyarakat, hubungan itu telah ujud sejak lama karena pada satu masa dahulu
kedua kawasan ini pernah menyatu dalam satu emperium kerajaan Melayu,
sebagaimana catatan sejarah diatas.
Selat Melaka yang merupakan basis dari
pergerakan ekonomi kawasan pantai timur Sumatera akan semakin berkembang pesat selari dengan
perkembangan ASEAN Community pada
tahun 2015. Adalah pada Konfrensi Tingkat
Tinggi (KTT) ASEAN (Association of South
East Asian Nations) ke-9 di Bali tahun 2003 telah mencanangkan pembangunan
ASEAN Community yang terdiri dari
tiga pilar, yaitu ASEAN Security
Community, ASEAN Economic Community,
dan ASEAN Socio-Cultural Community. Dalam
konteks Economic Community ASEAN
(Masyarakat Ekonomi ASEAN) ingin dicapai
ASEAN 2015, yang akan menjadi pasar tunggal dan basis produksi di mana akan ada
aliran barang jasa dan investasi yang bebas dan aliran modal lebih bebas
sehingga menjadi lebih kuat, dinamis, dan kompetitif secara ekonomi dalam pasar
global (Samsurizal:2008).
Kedudukan selat Malaka masih sangat strategis
sampai dengan saat ini, namun terdapat beberapa
persolan baik dalam tatanan kepetingan nasional, regional mahupun dalam
tataran internasional. Pada tataran kepentingan nasional, ketimpangan
pembangunan kawasan merupakan satu kenyataan yang memilukan. Di sepanjang garis
pantai bagian barat selat ini yang merupakan pantai timur Sumatera merupakan
kawasan yang masih gelap gulita, karena belum tersentuh pembangunan secara
maksimal. Sementara dibagian lainnya yang merupakan kawasan Semenanjung
Malaysia sudah sangat terang-benderang dengan dilengkapi pelabuhan-pelabuhan
laut bersekala internasional seperti
Johor, Pord Diction dan Singa Pura.
Sebagai sebuah kawasan yang berada di jalur penting perekonomian
dunia, kawasan pesisir pantai timur Sumatera sudah selayaknya mendapatkan
perhatian khusus dalam kebijakan pembangunan nasional. Kawasan ini sudah
semestinya menjadi kawasan utama dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional,
menjadi pasar yang dapat menjamin produk-produk nasional untuk masuk ke dunia
internasional. Disamping itu kejayaan kawasan ini sebagai enteri point
pengembangan peradaban dikawasan nusantara sebagaimana catatatan sejarah diatas
harus dapat dikembalikan lagi perannya sehingga kegalauan peradaban yang kita
hadapi saat ini dapat teratasi.
Secara ekonomi harapan terhadap programa MP3I (Master Plant Percepatan Peluasan Ekonomi Indonesia)
yang telah dicanangkan pemerintah dalam memcapai visi Indonesia 2025 sangat
besar dalam upaya mempotensikan kembali kawan ini. Dimana program MP3I adalah sebuah progaram yang
menyeting semua aspek perekonomian Indonesia yang diharap kan dapat
mengubah Perekonomian Indonesia menjadi lebih maju dan berkembang. Kawasan
pantai timur sumatera merupakan salah satu koridor pengembangan ekonomi
nasional dengan tema pembangunan ekonomi sebagai “Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi
Nasional”.
Untuk itu, Moment PIOS ke-4
PTAIS KOPERTAIS Wilayah XII Riau-Kepri ini, dapat dijadikan sarana untuk
mereurgensikan kembali peran pesisir pantai timur Sumatera dalam menoreh
peradaban nusantara. Untuk itu isu-isu menyangkut pembangunan kawasan ini dari
berbagai perspektif akan dijadikan wacana-wacana ilmiah dalam setiap pembahasan
dalam kegiatan, dengan harapan PIOS ke 4 di STAI Tafaqquh Fiddin Dumai dapat
memunculkan gagasan serta konsep baru dalam percepatan pembangunan di kawasan
pesisir sumatera yang bersifat integrative.
A. SELAYANG PANDANG SEJARAH PERKEMBANGAN PIOS
Pekan llmiah Olah Raga dan
Seni (PIOS) Kopertais Wilayah XII pada awalnya ditaja sebagai wadah atau ajang
silaturrahmi dan pertemuan tahunan antara para pengelola, pimpinan, dosen dan mahasiswa
PTAIS yang berada dalam lingkungan Kopertais Wilayah XII. Gagasan ini juga
didasari oleh upaya untuk mewujudkan komunikasi, harmonisasi, dan dinamisasi
PTAIS ditengah persaingan lokal dan global dunia pendidikan tinggi sekaligus
menjawab persoalan-persoalan pendidikan Islam.
Cita-cita mulia tersebut,
telah sukses dilaksanakan di kantor sekretariat Kopertais Wilayah XII di kampus
UIN Suska Pekanbaru, pada tanggal 29 November s/d 1 Desember 2007. Momen ini
kemudian disebut dengan PIOS I.
PIOS II dilaksanakan di
Tanjung Pinang pada tanggal 16-21 Februari 2009, dengan mengusung tema
“Reorientasi Keilmuan PTAIS; Membangun Paradigm Keilmuan Kontributif terhadap
Pembangunan Daerah dan Nasional”. Kegiatan ini, telah pun dilaksanakan dengan
sukses, meskipun beberapa hal yang menjadi target kegiatan ini tidak terlaksana
sepenuhnya. Misalnya, yang berkaitan dengan kegiatan ilmiahnya. Meskipun
demikian, PIOS II telah melahirkan iklim akademik, olah raga, dan seni
dikalangan PTAIS Riau-Kepri.
PIOS III diselenggarakan di
Tembihan pada tanggal 19-26 November 2011.
PIOS ini mengusung tema utama : “Pendidikan Islam untuk Membangun Karakter
Bangsa Berbasis Budaya Melayu”. Tema ini mempertegas peran dan komitmen PTAIS
Kopertais Wilayah XII Riau-Kepri untuk membangun pendidikan tinggi Islam yang
berorientasi pada pembangunan karakter bangsa.
Pada tahun 2013, PIOS IV
akan diselenggarakan di Dumai pada tanggal 15-20 Oktober 2013. Pios kali ini menetapkan tema
utama : “Pembangunan Masyarakat Islam
Pesisir Pantai Timur Sumatera”. Tema ini, mempertegas peran dan komitmen
PTAIS Kopertais Wilayah XII Riau-Kepri untuk membangun dan melakukan
pengembangan ekonomi bagi masyarakat Islam yang ada di wilayah pesisir pantai timur
Sumatera.